Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti
Assalamualaikum temen-temen :)
Hari ini kita bakalan bahas tentang "Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti".
Tapi, sebelum masuk ke materi,saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Nama saya Bulan Maharani Kusnadie,kelas X IPA 2 dan saya pelajar di SMA Negeri 1 Sanggau.
oke,kita langsung saja masuk ke materi yang pertama.
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Allah adalah Tuhan yang Maha Mulia. Kemulian-Nya tidak dilebihi oleh siapa pun selain-Nya. Al-Qur’an menyatakan:
“Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya Lagi Maha Mulia.”
Karena kemulian-Nya, Allah memiliki kebaikan yang tidak terbatas Dia akan memberi, jika diminta, dan tetap memberi meski tidak diminta. Imam Al-Ghazali menjelaskan makna Al-Karim sebagai berikut: “Al-Karim adalah Dzat yang bila berkuasa akan mengampuni, bila berjanji akan menepati, bila memberi akan memberi lebih dari yang diminta. Ia tidak pernah berhitung, berapa dan kepada siapa ia memberi. Dia tidak rela, bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia ‘kecil hati’, bila menegur tanpa ‘berlebih’. Dia tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya. Itulah Dzat yang Maha Karim dalam pengertian yang sebenarnya. Dan itu hanya milik Allah semata.
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : “Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”
d.Al-Matin
Al-Akhir berarti Dzat Yang Maha Akhir. Maha Akhir disini dapat diartikan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang paling kekal. Tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Tatkala semua makhluk, bumi seisinya hancur lebur, Allah SWT tetap ada dan kekal. Pemahaman tentang Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Akhir ini tidak bisa disamakan dengan pengertian bahwa Allah adalah akhir dari segala-galanya. Inilah yang membedakan antara Allah SWT sebagai Sang Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan). Makhluk mempunyai awal yang berupa penciptaannya dan mempunyai akhir pada saat dia sudah hancur atau mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27 sebagai berikut. Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27)
A. Pengantar
Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.
Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.
Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.
Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.
Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”
Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).
Menurut istilah para ahli agama hadist merupakan sinonim atau persamaan sari sunnah yaitu sesuatu yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum atau sesudah beliau diutus menjadi Nabi. Namun sunnah lebih umum dari pada hadist. Hadist merupakan sabda atau perkataan, ketetapan, persetujuan serta perbuatan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum dalam agama islam. Hadist dijadikan sebagai sumber hukum atau pedoman kedua setelah Al–Quran.
Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Al Quran dalam islam ialah sebagai sumber hukum utama bagi umat islam dari segala sumber hukum yang ada dan dibuat dibumi. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah dalam surah An – Nisa ayat 59 :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat dengan jelas kita ketahui bahwa kedudukan Al – Quran ialah sebagai sumber hukum islam yang paling utama dan dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan petunjuk oleh umat manusia. Tidak akan ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Bila seseorang berpegang teguh pada Al – Quran tanpa meragukannya sedikitpun, maka ia tidak akan pernah tersesat selama – lamanya.
Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Terdapat beberapa hukum yang tidak disebutkan dengan jelas dalam Al – Quran. Rasulullah SAW kemudian akan menjelaskannya baik dengan menggunakan perbuatan, perkataan, maupun dengan penetapan. Dalil akan menjadi sunah hukumnya karena apa yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan tindak lain dari penjabaran dari prinsip – prinsip yang sudah ada di dalam Al – Quran. Selain sebagai sumber hukum Isla hadits juga memiliki kedudukan lainnya seperti sebagai pengukuh dan penguat hukum islam, penjelas atau oerinci terhadap ayat – ayat yang ada dalam Al – Quran yang masih bersifat umum.
Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits Sebagai Pedoman Hidup
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya baik itu Al – Quran maupun Hadits memang sudah seharusnya kita jadikan sebagai pedoman hidup. Mengingat isi dari Al – Quran dan Hadits yang sudah mengatur semua hal dalam keberlangsungan hidup manusia baik itu pada saat sedang berada di bumi atau pada saat di akhirat. Semua hal yang ada di alam semesta telah diatur dan dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al – Quran dan sudah diperjelas kembali oleh Rasulullah dalam hadits baik itu berupa perkataan, perbuatan, perjanjian dan lain sebagainya. Sejatinya Al – Quran dan Hadits diciptakan atau diturunkan untuk dijadikan sebagai petunjuk, penjelasan akan petunjuk, benar dan salah, baik serta buruk hingga terpuji dan tercela.
Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Hadits. Berbeda dengan Al – Quran dan Hadits, ijtihad memiliki ikatan dengan ketentuan – ketentuan seperti berikut :
Hari ini kita bakalan bahas tentang "Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti".
Tapi, sebelum masuk ke materi,saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Nama saya Bulan Maharani Kusnadie,kelas X IPA 2 dan saya pelajar di SMA Negeri 1 Sanggau.
oke,kita langsung saja masuk ke materi yang pertama.
Bab 1
Aku selalu dekat dengan Allah Swt.
A. Al-Asma'u Al-Husna Allah Swt.
1.Pengertian Al-Asma'u Al-Husna
Kata Al-Asma'u al-Husna berasal dari dua kata,yaitu asma dan husna.Asma artinya nama-nama dan husna berarti terbaik. Dalam agama Islam, Asmaa'ul husna (Arab: أسماء الله الحسنى, asmāʾ allāh al-ḥusnā) adalah nama-nama Allah yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang indah, jadi asma'ul husna adalah nama nama milik Allah yang baik lagi indah.
2.Ayat Al-Qur'an tentang Al-Asma'u Al-Husna
Perhatikan Surah al-Hasyr [59] ayat 24 berikut:
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا
Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
B.Tujuh Al-Asma'u Al-Husna Allah Swt.
a.Al-Karim
Secara bahasa, Al Karim bermakna “kemuliaan”, “keistimewaan sesuai
objeknya” dan “keluhuran budi”. Sementara menurut Ibn faris, Karim
adalah kemuliaan sesuatu pada dirinya sendiri atau perilakunya.
Sedangkan, Imam AZ Zujaj memaknainya dengan al-jawad (dermawan), al-aziz
(perkasa) dan al-shaffuh (pemaaf). Az-Zujaj berkata, “Inilah tiga
pengertian Karim menurut ucapan orang arab. Semuanya boleh disifatkan
kepada Allah.”Allah adalah Tuhan yang Maha Mulia. Kemulian-Nya tidak dilebihi oleh siapa pun selain-Nya. Al-Qur’an menyatakan:
“Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya Lagi Maha Mulia.”
Karena kemulian-Nya, Allah memiliki kebaikan yang tidak terbatas Dia akan memberi, jika diminta, dan tetap memberi meski tidak diminta. Imam Al-Ghazali menjelaskan makna Al-Karim sebagai berikut: “Al-Karim adalah Dzat yang bila berkuasa akan mengampuni, bila berjanji akan menepati, bila memberi akan memberi lebih dari yang diminta. Ia tidak pernah berhitung, berapa dan kepada siapa ia memberi. Dia tidak rela, bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia ‘kecil hati’, bila menegur tanpa ‘berlebih’. Dia tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya. Itulah Dzat yang Maha Karim dalam pengertian yang sebenarnya. Dan itu hanya milik Allah semata.
b.Al-Mu'min
Al-Mukmin
( الْمُؤْمِنُ ) adalah salah satu dari asmaul husna. Allah ‘azza wa
jalla menyebutkan nama ini dalam satu ayat dalam al- Qur’an, yaitu
firman-Nya,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera,
Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa,
Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.” (al-Hasyr: 23)
c.Al-Wakil
Al-Wakil berasal dari kata Al-wakil yang mengandung arti Maha
Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil yaitu Allah SWT yang memelihara dan
mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia
maupun urusan akhirat.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 62:اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : “Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”
d.Al-Matin
Al-Matin adalah salah satu nama Allah al-Husna. Nama ini disebutkan di salah satu ayat pada surat adz-Dzariyat.
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (adz-Dzariyat: 58)
Al-Matin dalam bahasa bermakna syiddah wal quwwah (kekuatan yang sangat dahsyat). Disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagaimana dalam riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya bahwa al-Matin bermakna asy-Syadid, yakni Yang Sangat Kuat.
e.Al-Jami'
Jami’ asal katanya
jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah
bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan.
Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah
bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari
kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan
matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi
satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan
kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang
Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling
berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan?
Subhanallah !.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Al-Jami' berarti Maha Menghimpun.Allah Swt. Maha menghimpun segala
sesuatu yang berjumlah tidak terbatas sekalipun.Allah Swt.adalah
pencipta bumi , langit,beserta isinya,
f.Al-'adl
Al-Adl berarti Maha Adil. Keadilan Allah SWT bersifat
mutlak, tidak dipengaruhi apapun dan siapapun. Allah Mahaadil karena Allah
selalu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, sesuai dengan
keadilan-Nya yang Maha Sempurna. Dia bersih dari sifat aniaya, baik dalam
hukum-Nya maupun dalam perbuatan-Nya. Di antara hukum-Nya mengenai hak
hamba-hamba-Nya adalah bahwa tidak ada bagi manusia itu kecuali apa yang ia
usahakan, dan hasil dari segala usahanya itu akan dilihatnya. Secara normal,
orang-orang yang saleh akan ditempatkan di surga yang penuh dengan kenikmatan,
sedangkan orang-orang yang mengabaikan perintah Allah akan dimasukkan ke dalam
neraka yang penuh dengan penderitaan.
Jami’ asal katanya
jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah
bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan.
Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah
bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari
kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan
matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi
satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan
kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang
Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling
berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan?
Subhanallah !.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Jami’ asal katanya
jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah
bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan.
Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah
bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari
kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan
matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi
satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan
kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang
Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling
berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan?
Subhanallah !.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Jami’ asal katanya
jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah
bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan.
Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah
bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari
kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan
matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi
satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan
kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang
Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling
berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan?
Subhanallah !.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
g.Al-AkhirSumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Al-Akhir berarti Dzat Yang Maha Akhir. Maha Akhir disini dapat diartikan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang paling kekal. Tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Tatkala semua makhluk, bumi seisinya hancur lebur, Allah SWT tetap ada dan kekal. Pemahaman tentang Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Akhir ini tidak bisa disamakan dengan pengertian bahwa Allah adalah akhir dari segala-galanya. Inilah yang membedakan antara Allah SWT sebagai Sang Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan). Makhluk mempunyai awal yang berupa penciptaannya dan mempunyai akhir pada saat dia sudah hancur atau mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27 sebagai berikut. Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27)
BAB 2
Berbusana Muslim dan Muslimah Cermin Kepribadian dan Keindahan
Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.
Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.
Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.
Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.
Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”
Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).
BAB 3
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian
A.Pengertian Jujur dan Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama Islam
Pengertian Jujur
– Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang cukup sulit untuk
diterapkan. Sifat jujur yang benar-benar jujur biasanya hanya bisa
diterapkan oleh orang-orang yang sudah terlatih sejak kecil untuk
menegakkan sifat jujur. Tanpa kebiasaan jujur sejak kecil, sifat jujur
tidak akan dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya jujur.
Sifat jujur termasuk ke dalam salah satu
sifat baik yang dimiliki oleh manusia. Orang yang memiliki sifat jujur
merupakan orang berbudi mulia dan yang pasti merupakan orang yang
beriman.
Meskipun jujur merupakan sifat dasar
manusia, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang belum memahami
makna kata jujur yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari masih banyaknya
orang-orang yang mencampur adukkan sifat jujur dengan sifat kebohongan
yang pada akhirnya mendatangkan berbagai macam malapetaka baik bagi
dirinya maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya.
Nah, untuk membantu kita memahami makna
kata jujur yang sebenarnya, berikut merupakan rangkuman mengenai
definisi kata jujur dapat kita gunakan sebagai sumber referensi :
Definisi dan Pengertian Jujur
Pengertian jujur
dilihat dari segi bahasa adalah mengakui, berkata, atau pun memberi
suatu informasi yang sesuai dengan apa yang benar-benar
terjadi/kenyataan. Dari segi bahasa, jujur dapat disebut juga sebagai
antonim atau pun lawan kata bohong yang artinya adalah berkata tau pun
memberi informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Jika diartikan secara lengkap, maka
jujur merupakan sikap seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu atau
pun fenomena tertentu dan menceritakan kejadian tersebut tanpa ada
perubahan/modifikasi sedikit pun atau benar-benar sesuai dengan realita
yang terjadi. Sikap jujur merupakan apa yang keluar dari dalam hati
nurani setiap manusia dan bukan merupakan apa yang keluar dari hasil
pemikiran yang melibatkan otak dan hawa nafsu.
Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama Islam
Dalam Agama Islam, setidaknya dikenal lima jenis sifat jujur yang harus dimiliki oleh penganutnya, yaitu :
- Shidq Al – Qalbi
Shidq Al – Qalbi merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada niat seorang manusia.
- Shidq Al – Hadits
Shidq Al – Hadits merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada perkataan yang diucapkan oleh manusia.
- Shidq Al – Amal
Shidq Al – Amal merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada aktivitas dan perbuatan manusia.
- Shidq Al – Wa’d
Shidq Al – Wa’d merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada janji yang diucapkan oleh manusia.
- Shidq Al – Hall
Shidq Al – Hall merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada kenyataan yang terjadi dalam hidup manusia.
Demikianlah tulisan mengenai pengertian jujur yang dapat kami sampaikan kepada Anda. Semoga bermanfaat ya!
BAB 4
Al-Qur'an dan hadis adalah pedoman hidupku
Cermati gambar dan wacana berikut!
Kisah berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita agar
selalu mempertahankan kejujuran dalam segala kondisi. Suatu ketika,
Wasilah ibn Iqsa, salah seorang sahabat Rasulullah saw. sedang berada di
pasar ternak. Saat itu ia sedang menyaksikan seseorang akan membeli
seekor unta dan sedang melakukan tawar-menawar. Akhirnya unta itu dibeli
dengan harga 300 dirham, dan si pembeli menuntun unta yang telah
dibelinya.
Wasilah bergegas menghampiri si pembeli tersebut seraya bertanya,
“Apakah unta yang engkau beli itu untuk disembelih atau sebagai
tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta ini untuk dikendarai.” Lalu
Wasilah memberikan nasihat bahwa unta itu tidak akan tahan lama kalau
ditunggangi karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun
bergegas kembali menemui si penjual dan menggugatnya hingga akhirnya
terjadi pengurangan harga 100 dirham.
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian
Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga
engkau dikasihi Allah Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.”
Mendengar ucapan tersebut, Wasilah berkata, “Kami sudah berbai’at kepada
Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana
Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual
barangnya kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang
mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan
Muslim dari Wasilah).” Itulah nilai-nilai dari kejujuran, walaupun
berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
sehari-hari. Kejujuran sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi
sedikit sekali yang dapat menerapkannya.
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian
Berbagai cara dilakukan orang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
hidupnya. Ada yang melakukan cara-cara yang memang seharusnya ditempuh
dengan memotivasi diri dengan bekerja keras dan menaati aturan yang ada.
Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menempuh cara-cara yang
bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku, baik itu hukum agama
maupun peraturan yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah. Mereka jauh
dari nilai-nilai kejujuran. Bagi mereka, cara apa pun boleh dilakukan,
yang penting tujuannya tercapai.
Berani jujur itu hebat! adalah sebuah slogan yang saat ini marak
disuarakan oleh para aktivis penggiat antikorupsi untuk mendukung kerja
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya “menangkap”
para koruptor. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, semenjak dibentuknya
KPK, sudah banyak penjahat “kerah putih” yang menggerogoti uang rakyat
tertangkap oleh KPK. Mereka sudah memperoleh jabatan yang tinggi dengan
segenap fasilitas yang diberikan oleh negara, tetapi masih saja
melakukan praktik-praktik kotor dengan cara memanipulasi,
menggelembungkan harga belanja barang, laporan keuangan fiktif dan
sebagainya. Namun demikian, memang tidak semua pejabat berperilaku
seperti itu. Banyak juga di antara pejabat di negeri ini yang masih
memiliki hati nurani dengan berperilaku jujur dan amanah. Mereka hidup
bersahaja dengan penghasilan yang cukup dan sah diberikan oleh negara.
Korupsi dimulai dari perilaku yang tidak jujur yang mungkin sudah sering
dilakukan sejak kecil, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat. Analisislah apa saja perbuatan yang sering dilakukan sebagai
perbuatan tidak jujur, baik di lingkungan keluarga, kerja, sekolah,
maupun masyarakat! Apa saja upaya yang harus dilakukan untuk menghindari
hal tersebut?
Mulai saat ini marilah kita coba untuk mempertahankan kejujuran sebagai
cermin kepribadian kita.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Cermati gambar dan wacana berikut!
Kisah berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita agar
selalu mempertahankan kejujuran dalam segala kondisi. Suatu ketika,
Wasilah ibn Iqsa, salah seorang sahabat Rasulullah saw. sedang berada di
pasar ternak. Saat itu ia sedang menyaksikan seseorang akan membeli
seekor unta dan sedang melakukan tawar-menawar. Akhirnya unta itu dibeli
dengan harga 300 dirham, dan si pembeli menuntun unta yang telah
dibelinya.
Wasilah bergegas menghampiri si pembeli tersebut seraya bertanya,
“Apakah unta yang engkau beli itu untuk disembelih atau sebagai
tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta ini untuk dikendarai.” Lalu
Wasilah memberikan nasihat bahwa unta itu tidak akan tahan lama kalau
ditunggangi karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun
bergegas kembali menemui si penjual dan menggugatnya hingga akhirnya
terjadi pengurangan harga 100 dirham.
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian
Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga
engkau dikasihi Allah Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.”
Mendengar ucapan tersebut, Wasilah berkata, “Kami sudah berbai’at kepada
Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana
Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual
barangnya kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang
mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan
Muslim dari Wasilah).” Itulah nilai-nilai dari kejujuran, walaupun
berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
sehari-hari. Kejujuran sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi
sedikit sekali yang dapat menerapkannya.
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian
Berbagai cara dilakukan orang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
hidupnya. Ada yang melakukan cara-cara yang memang seharusnya ditempuh
dengan memotivasi diri dengan bekerja keras dan menaati aturan yang ada.
Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menempuh cara-cara yang
bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku, baik itu hukum agama
maupun peraturan yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah. Mereka jauh
dari nilai-nilai kejujuran. Bagi mereka, cara apa pun boleh dilakukan,
yang penting tujuannya tercapai.
Berani jujur itu hebat! adalah sebuah slogan yang saat ini marak
disuarakan oleh para aktivis penggiat antikorupsi untuk mendukung kerja
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya “menangkap”
para koruptor. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, semenjak dibentuknya
KPK, sudah banyak penjahat “kerah putih” yang menggerogoti uang rakyat
tertangkap oleh KPK. Mereka sudah memperoleh jabatan yang tinggi dengan
segenap fasilitas yang diberikan oleh negara, tetapi masih saja
melakukan praktik-praktik kotor dengan cara memanipulasi,
menggelembungkan harga belanja barang, laporan keuangan fiktif dan
sebagainya. Namun demikian, memang tidak semua pejabat berperilaku
seperti itu. Banyak juga di antara pejabat di negeri ini yang masih
memiliki hati nurani dengan berperilaku jujur dan amanah. Mereka hidup
bersahaja dengan penghasilan yang cukup dan sah diberikan oleh negara.
Korupsi dimulai dari perilaku yang tidak jujur yang mungkin sudah sering
dilakukan sejak kecil, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat. Analisislah apa saja perbuatan yang sering dilakukan sebagai
perbuatan tidak jujur, baik di lingkungan keluarga, kerja, sekolah,
maupun masyarakat! Apa saja upaya yang harus dilakukan untuk menghindari
hal tersebut?
Mulai saat ini marilah kita coba untuk mempertahankan kejujuran sebagai
cermin kepribadian kita.
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Pengertian AL- Quran Dan Hadist
Menurut bahasa Al – Quran berasal dari kata “ qara’a – qur’aanan – yaqra’u ” yang memiliki arti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang kali. Menurut istilah, Al – Quran adalah firman Allah yang diturunkan pada Rasulullah melalui Malaikat Jibril yang membacanya pun merupakan ibadah.
Hadist menurut bahasa memiliki tiga makna yakni :
Menurut bahasa Al – Quran berasal dari kata “ qara’a – qur’aanan – yaqra’u ” yang memiliki arti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang kali. Menurut istilah, Al – Quran adalah firman Allah yang diturunkan pada Rasulullah melalui Malaikat Jibril yang membacanya pun merupakan ibadah.
Hadist menurut bahasa memiliki tiga makna yakni :
- Sesuatu yang baru jadi atau jaded
- Dekat atau Qorib, sesuatu yang tidak lama lagi akan terjadi atau segera terjadi
- Berita atau Khabar, sesuatu yang dibicarakan atau disampaikan seseorang kepada orang lain
Menurut istilah para ahli agama hadist merupakan sinonim atau persamaan sari sunnah yaitu sesuatu yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum atau sesudah beliau diutus menjadi Nabi. Namun sunnah lebih umum dari pada hadist. Hadist merupakan sabda atau perkataan, ketetapan, persetujuan serta perbuatan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum dalam agama islam. Hadist dijadikan sebagai sumber hukum atau pedoman kedua setelah Al–Quran.
Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Al Quran dalam islam ialah sebagai sumber hukum utama bagi umat islam dari segala sumber hukum yang ada dan dibuat dibumi. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah dalam surah An – Nisa ayat 59 :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat dengan jelas kita ketahui bahwa kedudukan Al – Quran ialah sebagai sumber hukum islam yang paling utama dan dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan petunjuk oleh umat manusia. Tidak akan ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Bila seseorang berpegang teguh pada Al – Quran tanpa meragukannya sedikitpun, maka ia tidak akan pernah tersesat selama – lamanya.
Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Terdapat beberapa hukum yang tidak disebutkan dengan jelas dalam Al – Quran. Rasulullah SAW kemudian akan menjelaskannya baik dengan menggunakan perbuatan, perkataan, maupun dengan penetapan. Dalil akan menjadi sunah hukumnya karena apa yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan tindak lain dari penjabaran dari prinsip – prinsip yang sudah ada di dalam Al – Quran. Selain sebagai sumber hukum Isla hadits juga memiliki kedudukan lainnya seperti sebagai pengukuh dan penguat hukum islam, penjelas atau oerinci terhadap ayat – ayat yang ada dalam Al – Quran yang masih bersifat umum.
Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits Sebagai Pedoman Hidup
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya baik itu Al – Quran maupun Hadits memang sudah seharusnya kita jadikan sebagai pedoman hidup. Mengingat isi dari Al – Quran dan Hadits yang sudah mengatur semua hal dalam keberlangsungan hidup manusia baik itu pada saat sedang berada di bumi atau pada saat di akhirat. Semua hal yang ada di alam semesta telah diatur dan dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al – Quran dan sudah diperjelas kembali oleh Rasulullah dalam hadits baik itu berupa perkataan, perbuatan, perjanjian dan lain sebagainya. Sejatinya Al – Quran dan Hadits diciptakan atau diturunkan untuk dijadikan sebagai petunjuk, penjelasan akan petunjuk, benar dan salah, baik serta buruk hingga terpuji dan tercela.
Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Hadits. Berbeda dengan Al – Quran dan Hadits, ijtihad memiliki ikatan dengan ketentuan – ketentuan seperti berikut :
- Pada dasarnya apapun yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat dijadikan sebagai keputusan yang mutlak atau absolute , karena ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relative.
- Keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad hanya dapat berlaku pada orang – orang tertentu saja. Ijtihad juga tidak berlaku dalam penambahan ibadah mahdhah karena urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulnya dalam Al – Quran dan Hadits.
- Keputusan Ijtihad tidak diijinkan bertentangan dengan Al – Quran dan juga Hadits
- Pada saat proses Ijtihad diharuskan mempertimbangkan berbagai faktor akibat, kemaslahan umum, motivasi hingga nilai – nilai yang menjadi ciri dan jiwa pada ajaran.
BAB 5
Meneladan Perjuangan Rasullulah saw. di Mekah
A. Dakwah Nabi Muhammad untuk Menyempurnakan Akhlak Manusia
Setelah Nabi Miuhammad SAW menerima wahyu, maka
secara resmi beliau telah diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT. Beliau
mempunyai kewajiban untuk membina umat yang telah berada dalam kesesatan
untuk menuju jalan yang lurus. Dakwah Nabi Muhammad SAW dimulai dari
wilayah Makkah di jazirah Arab, walaupun pada akhirnya ajaran beliau
adalah untuk seluruh umat manusia. Jauh sebelum kerasulan Nabi Muhammad
SAW, sebenarnya Allah SWT juga telah mengutus nabi Ibrahim a.s. dan Nabi
Ismail a.s. Kedua Rasul ini telahberhasil membina bangsa Arab dan
masyarakat makkah menjadi orang yang beriman dan henya menyembah kepada
Allah SWT. Bahkan kedua Rasul tersebut juga diperintah Allah SWT untuk
membangun Ka’bah di Makkah. Namun dengan berjalanya waktu, keimanan
masyarakat Makkah menjadi luntur dan berubah menjadi kemusyrikan dengan
menyembah patung dan berhala. Mereka tidak hanya mengalami kerusakan
dalam hal aqidah, bahkan akhlaknya juga rusak.
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul tidak henti-hentinya
berusaha memperbaiki akhlak masyarakat yang sudah rusak tersebut. Untuk
memperbaiki akhlak, maka Allah SWT telah mengutus rasul yang memang
semenjak kecil dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang sangat mulia
akhlaknya. Sejak masih kecil, remaja, sampai dewasa Nabi Muhammad sudah
dikenal oleh masayarakat Makkah sebagai orang yang mempunyai kepribadian
baik, berbeda dengan kebanyakan orang saat itu. Penampilannya pun
sederhana, bersahaja, dan berwibawa. Ketika ia berjalan badannya agak
condong kedepan, melangkah sigap dan pasti. Raut mukanya menunjukkan
pikirannya yang cerdas, tajam, dan jernih. Pandangan matanya menunjukkan
keteduhan dan kewibawaan, membuatorang patuh kepadanya. Ia juga dikenal
sebagai orang yang jujur dalam setiap perkataan maupun perbuatan.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah, majikannya
menaruh simpati kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad
diberi keleluasaan mengurus hartanya. Khadijah juga membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan menuangkan hasil pemikirannya.
Akhirnya Muhammad dan Khadijah menikah menjadi sepasang suami istri yang
sangat setia dan memiliki anak-anak yang shalih.
Muhammad mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah, mereka berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta
yang cukup. Seluruh penduduk Makkah memandangnya dengan rasa segan dan
hormat. Mereka mensyukuri karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta
anak dan keturunan yang baik. Semua itu tidak mengurangi pergaulannya
dengan penduduk Makkah baik yang kaya maupun yang miskin. Dalam
kehidupan hari-hari, Muhammad bergaul baik dengan masyarakat sekitar.
Bahkan setelah menikah dengan Khadijah ia lebih dihormati di
tengah-tengah masyarakat. Dengan dihormati orang Muhammad tidak menjadi
tinggi hati, namun ia menjadi semakin rendah hati. Bila ada yang
mengajaknya bicara ia mendengarkan dan memperhatikannya tanpa menoleh
kepada orang lain. Perilakunya yang demikian sangat berbeda dengan
kebanyakan orang Makkah yang menjadi sombong dan congkak ketika
dihormati, dan marah-marah ketika merasa tidak dihormati. Muhammad juga
bukan termasuk orang yang suka mengobral perkataan, ia berkata
seperlunya, dan ia lebih banyak mendengarkan. Bila bicara selalu
bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu ia sesekali membuat humor dan
bersenda-gurau. Sifatnya yang jujur tersebut juga sangat berbeda dengan
kebanyakan orang Makkah yang suka berbohong, membual, dan sulit
dipercaya. Setiap bertemu orang Muhammad selalu tersenyum. Pada
saat-saat tertentu juga bercanda dan terkadang tertawa sampai terlihat
gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya
antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat, hal ini disebabkan
ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu
terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan
menghargai orang lain. Ia Bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi
ia juga mempunyai tujuan pasti, berkemauan kuat, tegas dan tak pernah
ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam
dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang
yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus
akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang terbiasa bergaul dengannya
akan timbul rasa cinta kepadanya.
Muhammad menjalin hubungan baik kepada penduduk
Makkah. Ia juga berpartisipasi dalam kegiatan sosial dalam kehidupan
masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena
bencana banjir besar yang turun dari gunung kemudian menimpa dan
meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sebelum
itupun masyarakat suku Quraisy memang sudah memikirkannya. Ka’bah yang
tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang
berharga di dalamnya. Hanya saja masyarakat suku Quraisy merasa takut
kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi atap, dewa
Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang
zaman Jahiliyyah keadaan mereka diliputi oleh berbagai macam legenda
yang mengancam bagi siapapun yang berani mengadakan sesuatu perubahan
terhadap Ka’bah. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan
demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih diliputi rasa takut
dan ragu-ragu. Bertepatan dengan kejadian itu, kapal milik seorang
pedagang Romawi bernama Baqum yang datang dari Mesir terhempas di laut
dan pecah. Sebenarnya Baqum adalah seorang ahli bangunan yang mengetahui
masalah perdagangan. Sesudah suku Quraisy mengetahui hal ini, maka
berangkatlah al-Walid bin al-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy
ke Jeddah menemui Baqum. Kapal itu kemudian dibelinya, kemudian
diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Makkah guna membantu
mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada
waktu itu di Makkah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai
tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan
mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah oleh suku Quraisy dibagi empat
bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun
kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih
ragu-ragu dan khawatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin
al-Mughira tampil ke depan dengan merasa sedikit takut. Setelah berdoa
kepada dewa-dewanya, ia mulai merombak bagian sudut selatan. Orang-orang
menunggu apa yang akan dilakukan Tuhan terhadap al-Walid. Tetapi
setelah sampai pagi hari tak terjadi apa-apa, mereka pun beramai-ramai
merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Muhammad pun ikut dalam
kerja bakti itu.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba
saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang
seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu pada tempatnya
semula. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja
timbul perang saudara. Keluarga Abdud Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat
takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan
yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga
Abdud Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke
dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi
nama La’aqatud Dam, yakni ‘jilatan darah.’ Abu Umayyah bin al-Mughira
dari Bani Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka. Ia
dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata
kepada mereka:
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin (orang yang terpercaya) ; kami dapat menerima keputusannya." Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini." Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam Ka’bah itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin (orang yang terpercaya) ; kami dapat menerima keputusannya." Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini." Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam Ka’bah itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Kejadian ini berlangsung saat Muhammad berusia 35
tahun, dan keputusannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu
mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah,
menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Makkah, betapa
besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Pada tahun 611 M, waktu itu Muhammad berusia 40 tahun beliau menerima
wahyu yang pertama. Di puncak Gunung Hira, – sejauh dua farsakh sebelah
utara Makkah – terletak sebuah gua yang sangat kondusif untuk tempat
menyendiri (berkhalwat). Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad
pergi ke sana dan berdiam di tempat itu. Ia tekun dalam merenung dan
beribadah, menjauhkan diri dari segala kesibukan hidup dan keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran tentang keberadaan Tuhan dan merenungkan
keboborokan perilaku sehari-hari masyarakat Arab saat itu. Demikian
kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan
dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab,
segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah
suatu kebenaran.
Ia merenung untuk mencari jawaban mengenai perilaku
masyarakat dalam masalah-masalah hidup. Apa yang disajikan sebagai
kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, bukanlah sesuatu yang dapat
dibenarkan menurut rasio dan nurani yang jernih. Berhala-berhala yang
tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak
dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya tidak
selayaknya dipuja dan disembah. Hubal, Lata dan ‘Uzza, dan semua
patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di
sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan seekor lalat sekalipun, atau akan
mendatangkan suatu kebaikan bagi Makkah. Ketika itulah ia percaya bahwa
masyarakatnya telah tersesat, jauh dari kebenaran.Keyakinan mereka
terhadap keberadaan Tuhan telah rusak karena tunduk kepada khayal
berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya. Kebenaran itu
ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran
itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha
Rahim.
Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan
perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan
dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan
dilihatNya pula." (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan
neraka juga benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah
mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling
durhaka. Tatkala ia sedang bertahanuth, ketika itulah datang malaikat
membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan
terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah
malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
"Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab:
"Apa yang akan saya baca."
Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …" Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.
Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …" Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.
Setelah menerima wahyu yang pertama itu maka Muhammad
menjadi seorang utusan (rasul), sehingga dia mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan ajaran Allah SWT kepada umat manusia. Setelah menjadi
rasul, maka sifat-sifat mulia yang dimilikinya tdak hanya dimilikinya
sendiri, namun dia harus mengajarkan dan memberi teladan kepada umat
manusia untuk berakhlak yang mulia. Nabi Muhammad bersabda :
Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak)” (HR Ahmad).
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS Fathir : 10)
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari harta, keturunan, suku, keindahan tubuh, kekuatan, maupun pangkat dan jabatannya dalam masyarakat.
Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak)” (HR Ahmad).
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS Fathir : 10)
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari harta, keturunan, suku, keindahan tubuh, kekuatan, maupun pangkat dan jabatannya dalam masyarakat.
Namun kemuliaan manusia terletak pada ketaatannya
kepada Allah SWT dan kemuliaan akhlaknya, baik berupa sikap, perkataan,
maupun perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal ketika itu
masayarakat Arab sangat menonjolkan keturunan dan sukunya. Mereka sering
berselisih, bertengkar bahkan berperang agar sukunya menjadi yang
paling terhormat diantara yang lain. Mereka juga sangat membanggakan
harta dan kedudukan. Semakin banyak harta dan memiliki banyak budak,
maka mereka merasa menjadi mulia. Setelah menjadi rasul, Nabi Muhammad
SAW memberikan ajaran yang sangat mulia bahwa sebaik-baik manusia adalah
yang memberi manfaat dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Padahal
perilaku masyarakat Quraisy saat itu seringkali menyengsarakan orang
lain,, mereka semena-mena terhadap orang-orang miskin apalagi terhadap
budak-budak mereka. Betapa beratnya tugas Nabi Muhammad SAW untuk
membina manusia agar berakhlak mulia ketika kondisi akhlaknya sudah
buruk. Namun semua itu dilakukan beliau dengan penuh kesabaran dan
dengan cara memberi teladan.
B. Nabi Muhammad Sebagai Rahmat bagi Alam Semesta
Bagi orang-orang yang merasakan bahwa kehidupan para
pembesar dan bangsawan Makkah yang sudah sesat dan keterlaluan, namun
mereka tidak mampu berbuat apa-apa, maka kehadiran Nabi Muhammad saw.
seperti seteguk air saat mereka merasakan dahaga yang sudah sangat lama.
Nabi Muhammad saw. mengajarkan tentang persamaan derajat manusia. Nabi
Muhammad saw. juga mengajarkan agar penyelesaian masalah tidak boleh
dilakukan dnegan cara kekerasan, namun harus dilakukan dengan cara-cara
yang damai dan beradab. Hal ini tercermin dalam tindakan Nabi Muhammad
ketika mendamaikan masyarakat Makkah saat akan meletakkan Hajar Aswad
pada tempatnya.
Nabi Muhammad mengajarkan agar manusia bekerja keras
untuk dapat memenuhi kebutuhannya, namun ketika menjadi kaya maka dia
harus mengasihi yang miskin dengan cara menyisihkan sebagian hartanya
untuk mereka. Orang yang kuat harus mengasihi yang lemah. Orang tua
harus menyayangi anaknya baik anak itu laki-laki maupun perempuan,
sebaliknya anak harus menghormati dan berbakti kepada orang tuanya
walaupun mereka sudah sangat tua. Ketika antar anggota masyarakat dapat
memahami hak dan kewajibannya, saling menghormati, menghargai, dan
mengasihi, maka akan menjadi masyarakat yang damai, aman, tenteram dan
sejahtera. Terbukti, saat ini keadaan Masyarakat Makkah dan Madinah
menjadi masyarakat yang sangat beradab, damai, sejahtera dan mengalami
kemajuan yang pesat. Semua itu diawali dengan ketakwaan mereka kepada
Allah dan senantiasa berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian sesungguhnya Nabi Muhammad ditus oleh Allah SWT sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Nabi tidak hanya diutus untuk penduduk Makkah
saja, atau bagi bangsa Arab saja, namun nilai-nilai yang dibawanya
adalah nilai-nilai universal yang dapat meningkatkan martabat umat
manusia sehingga berbeda dengan binatang.
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QَS Al Anbiya : 107}
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QَS Al Anbiya : 107}
C. Meneladani Dakwah Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat di Makkah
Pada mulanya, dakwah Nabi Muhammad di Makkah dimulai
dari sanak keluarga dan kerabat dekat. Itupun dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, di rumah salah seorang sahabat yang bernama Al Arqom
bin Abil Arqom Al Makhzumi. Upaya tersebut membuahkan hasil yang cukup
menggembirakan. Kurang lebih tiga tahun ada 39 orang yang menyatakan
iman dan Islam, semuanya dari kerabat dekat dan sahabat-sahabat yang
lain. Di antara kerabat dekat yang masuk Islam waktu itu antara lain
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah. Khadijah,
istri nabi, orang yang cukup terpandang dan kaya raya. Abu Bakar,
seorang dermawan yang kaya raya. Ali bin Abi Tholib, seorang pemuda yang
cukup cerdas dan dihormati. Dengan masuk Islamnya orang-orang tersebut
membawa pengaruh besar pada dakwah nabi sampai masa berikutnya. Karena
orang-orang tersebut cukup dihormati di kalangan orang-orang Quraisy.
Di antara sahabat yang menyusul masuk Islam antara
lain Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqash, Abdurrahman
bin Auf, Fatimah binti Khatab serta suaminya (Said bin Zaid), Arqam bin
Abil Arqam, Thalhah bin Ubaidillah. Mereka termasuk “Assabiqunal
Awwalun”, yakni orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dakwah secara
terang-terangan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. mendapat reaksi cukup
keras dari para pemuka dan tokoh Quraisy, antara lain Abu Lahab (Abdul
Uzza), Abu Jahal, Umar ibnu Khatab (sebelum masuk Islam), Uqbah bin Abi
Muatih, Aswad bin Abdi Jaghuts, Hakam bin Abil Ash, Abu Sufyan bin Harb
(sebelum masuk Islam), Ummu Jamil (istri Abu Lahab). Reaksi keras yang
dilakukan oleh para tokoh Quraisy tersebut antara lain berupa ejekan,
hinaan, hasutan, ancaman, dan penganiayaan secara fisik. Hal yang sama
juga dilakukan kepada orang-orang Quraisy sendiri, agar tidak mengikuti
seruan Nabi Muhammad. Namun, Rasulullah tetap tabah dan sabar, dakwah
pun tetap dijalankan. Bahkan semakin terang-terangan dan meluas ke
wilayah lain.
Menghadapi sikap Rasulullah tersebut orang-orang
Quraisy bertambah marah, bahkan pernah merencanakan akan melakukan
pembunuhan terhadap Nabi Muhammad. Rencana tersebut dilakukan menjelang
Nabi Muhammad akan hijrah ke Madinah. Atas pertolongan Allah SWT, waktu
itu Nabi selamat dari rencana pembunuhan tersebut. Kemudian bisa hijrah
ke Madinah. Meskipun Nabi Muhammad saw. dengan susah payah dalam
berdakwah karena mendapat tantangan dari Kaum Quraisy, tetapi makin hari
makin didengar orang sehingga makin banyak pengikutnya. Dakwah Nabi
Muhammad di Makah dilakukan kurang lebih selama 13 tahun, dan selebihnya
selama 10 tahun Nabi Muhammad berada di Madinah. Ketika berdakwah di
Makkah, tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah dan para sahabat begitu
besar. Dari uraian sejarah di atas dapat diambil pelajaran yang sangat
berharga dari cara cara dakwah Rasulullah yang harus diteladani oleh
umat islam, antara lain adalah :
1. Nabi Muhammad berdakwah dengan keeladanan. Sebelum beliau menyampaikan sesuatu, maka beliau terlebih dahulu melaksanakanya. Jadi, disamping dakwah dengan lisan, dakwah juga dilakukan dengan perbuatan, sikap, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Disampaikan dengan penuh kehati-hatian, sabar, dan menggunakan bahasa yang halus dan lemah lembut serta dengan bahasa yang mudah dipahami.
3. Rasulullah saw. memposisikan para pengikutnya sebagai sahabat, hal ini tercermin dalam sebutan para pengikutnya yakni dengan sebutan ‘sahabat’. Cara seperti ini menimbulkan rasa simpati yang luar biasa, karena di dalam Islam nyata-nyata diterapkan kesetaraan.
4. Rasulullah saw. selalu bersama para sahabat-sahabatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, dengan demikian terjalin persatuan, kesatuan, dan solidaritas umat Islam yang sangat kuat. Dalam berdakwah Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan kehendak, Rasulullah saw hanya menyampaikan ajaran dari Allah SWT, dan memberikan pemahaman secara rasional dan dengan hati yang jernih. Mengikuti atau tidak hal itu menjadi hak pribadi masing-masing. Dengan kata lain, dalam berdakwah Rasulullah saw tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan.
1. Nabi Muhammad berdakwah dengan keeladanan. Sebelum beliau menyampaikan sesuatu, maka beliau terlebih dahulu melaksanakanya. Jadi, disamping dakwah dengan lisan, dakwah juga dilakukan dengan perbuatan, sikap, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Disampaikan dengan penuh kehati-hatian, sabar, dan menggunakan bahasa yang halus dan lemah lembut serta dengan bahasa yang mudah dipahami.
3. Rasulullah saw. memposisikan para pengikutnya sebagai sahabat, hal ini tercermin dalam sebutan para pengikutnya yakni dengan sebutan ‘sahabat’. Cara seperti ini menimbulkan rasa simpati yang luar biasa, karena di dalam Islam nyata-nyata diterapkan kesetaraan.
4. Rasulullah saw. selalu bersama para sahabat-sahabatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, dengan demikian terjalin persatuan, kesatuan, dan solidaritas umat Islam yang sangat kuat. Dalam berdakwah Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan kehendak, Rasulullah saw hanya menyampaikan ajaran dari Allah SWT, dan memberikan pemahaman secara rasional dan dengan hati yang jernih. Mengikuti atau tidak hal itu menjadi hak pribadi masing-masing. Dengan kata lain, dalam berdakwah Rasulullah saw tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan.
Sekian
Komentar
Posting Komentar